- Back to Home »
- SAMURAI
Posted by : BISNIS ONLINE
Minggu, 03 November 2013
SAMURAI
Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.
Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang. Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”
Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.
“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”
Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan perang. Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada… sementara yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.
Istilah
samurai (侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi
kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan
saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah
lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi.
Istilah bushi (武 士 ) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum
militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi (続 日 本 紀 ), pada
bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi)
adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi
menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura).
Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603),
istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah
pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.
Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok
samurai yang tidak terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang
dikenal dengan rōnin (浪 人 ). Rōnin ini sudah ada sejak zaman Muromachi
(1392). istilah rōnin digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman
Edo (1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan
sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya. kehidupan seorang
rōnin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa
alasan seorang samurai menjadi rōnin. Seorang samurai dapat
mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani hidup sebagai rōnin.
Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan, anak seorang rōnin
secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin bertambah
jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang
mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para
samurai kehilangan majikannya.
Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang
menjelaskan bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang
mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer dan
dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan
tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun
bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer.
Secara materi peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau
kaum milter harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang
menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada
waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat
sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang
kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori
(防 人 ) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak
ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.
Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian
(Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun
dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk
oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas
adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di
daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan
tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih
besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap
tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para
pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para
petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang
dikenal dengan samurai.
Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei (僧 兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana. Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge (公 家 – bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).
Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei (僧 兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana. Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge (公 家 – bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).
Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi
kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya
shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak
dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi
dan kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat
dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini
melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah
atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya
merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional,
yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus
menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan
pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan
Toyotomi Hideyoshi.
Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan
seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya
dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat
perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar,
Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat
pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar. Strategi terpenting
yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk
mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen,
diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang.
Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat
memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang
Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan
memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan
dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah
yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh.
Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573
setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan
melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama
Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi
Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582
di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.
Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang
dikenal dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi
menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya
di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut
perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi
melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada
tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan
didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.
KEMATIAN SAMURAI
Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai
daripada tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu
hal yang sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang menerangkan
mengenai “mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku,
Hagakure pada kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai
berangkat ke medan peperangan, Hagakure – buku tersebut dikatakan telah
membawa semangat dan panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan.
Tidak dapat dinafikan, wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku
tersebut tetapi telah telah disalahtafsirkan oleh para samurai kerana
kekaburan maksud kalimatnya. Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan
di sini terletak di Bab Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri: “Jalan
Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada
di sini hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang. Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”
Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.
CARA KEMATIAN
1. Mati di medan pertempuran
Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam
peperangan untuk membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga
dengan para samurai. Mati dibunuh di medan perang adalah lebih baik
daripada hidup tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang samurai yang
terkenal, Uesugi Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para
pengikutnya sebelum mati:“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”
Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan perang. Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada… sementara yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.
2. Seppuku
Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara
membunuh diri. Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai.
Bagi seorang samurai, membunuh diri adalah lebih baik daripada
membiarkan ditangkap, karena sekiranya samurai itu masih hidup dan
ditangkap, ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja. Di
Barat, cara membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan
Membunuh Diri dengan membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan
oleh para samurai), tidak diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau
bagaimana pun, seperti yang tercatat dalam sejarah, Seppuku ini mula
dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto Yorisama pada akhir kurun
ke-12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih cara ini karena
lebih mudah melakukan dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal
kepala sendiri. Ada juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan
seppuku, iaitu dengan membelah perut adalah merupakan cara yang paling
jujur untuk mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan
yang amat sangat dan ini mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan
orang. Oleh karena itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu
keberanian dan kehormatan.
Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara
terhormat dalam kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan
dikeluarkan, kemudian satu bantal yang besar akan diletakkan di atasnya .
Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah samurai tersebut (pelaku
seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu nilai
penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani seppuku,
memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal
tersebut. Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai
tersebut, seorang kaishakunin, atau `kedua’ akan turut berlutut.
Kaishakunin atau `Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai yang telah
meninggal kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap
tidak senonoh dan amat memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang
layak dan terpilih (berkesanggupan untuk melakukan tugas membantu) saja
yang akan menjadi kaishakunin.
Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi. Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.
Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:
Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi. Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.
Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:
Junshi: Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut meninggal.
Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia
dan merugikan karena negara akan banyak kehilangan perwira yang setia.
Semasa kematian Maharaja Meiji pada 1912, Jeneral Nogi Maresue telah
melakukan junshi.
Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi.
Tidak begitu popular, melibatkan seseorang yang melakukan seppuku
sebagai tanda peringatan kepada seseorang raja apabila segala bentuk
musyawarah (persuasion) gagal. Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553)
telah melakukan kanshi untuk mengubah prinsip dan pemikiran Oda
Nobunaga.
Sokotsu-shi: Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus kesalahannya.
Ini merupakan sebab yang paling popular dalam melakukan seppuku.
Antara samurai yang melakukan sokotsu-shi ini termasuklah Jeneral
Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561), karena telah membuat satu
rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya di dalam bahaya.
s